Selasa, 21 Desember 2010

AMERIKA SERIKAT, HEGEMONI GLOBAL DAN DOMINASI MILITER

AMERIKA SERIKAT, HEGEMONI GLOBAL DAN DOMINASI MILITER
Oleh: Wawan Kurniawan

Kemarin (4 Juli), rakyat Amerika Serikat (AS) memperingati 229 tahun kemerdekaan negerinya. Independence Day yang keempat pascaserangan 9/11 September 2001 dan yang kelima selama pemerintahan Bush. Suatu peringatan kelahiran di tengah masa perang karena Donald Rumsfeld menyatakan AS sekarang dalam kondisi perang (Department of Defense, The National Defense Strategy of the USA, Maret 2005). Suatu peringatan pada saat kebencian terhadap AS di seluruh dunia, terutama di negeri-negeri Muslim, semakin besar dan terakumulasi dalam permusuhan-permusuhan nyata (shocking level) (Ivan Eland, Can America Spin Away Anti-U.S. Hatred in Islamic Countries?, Antiwar.com, 15/10/2003)

Dibandingkan era-era tahun sebelumnya (pasca Perang Dunia II), terjadi perubahan yang mendasar dalam pemerintahan AS, terutama kebijakan luar negeri. Di era 50-an hingga 90-an, komunis menjadi musuh utama AS. Sebagai akibatnya, AS harus bertempur di beberapa front: Perang Korea (1950-1953), Invansi Teluk Babi Kuba (1961), Krisis Rudal Soviet di Kuba (Oktober 1962), Perang Vietnam (1968-1975, dan Invasi Grenada (1983). Di samping, itu, AS harus memberikan bantuan kepada “our local friend“: Mujahidin di Afghanistan (1979-1997), Jenderal Pinochet yang mengkudeta presiden Chili berhaluan kiri, Salvador Allende (1973), rezim Jenderal Jorge Rafael Videla yang bertahan dari upaya kudeta oposisi kiri Argentina dalam “Dirty War” (1976-1983), pemberontak UNITA dan FNLA melawan rezim Marxis Angola (pertengahan 70-an hingga akhir 2002), monarki Nepal melawan kaum Maoist (1994), gerilyawan Kontra di Nikaragua (1983-1988), dan rezim-rezim kawasan segitiga Amerika Latin: El Salvador, Guetemala, dan Honduras.

Memasuki milenium baru, terjadi tranformasi paradigma kebijakan luar negeri AS; anti terorisme-sentris menggeser anti komunisme-sentris. Komunisme bukan lagi menjadi momok yang menakutkan. Uni Soviet telah lama hancur di tahun 1991. Beberapa negara eks komunis di Eropa Timur sudah menjadi anggota NATO (Hongaria, Polandia, dan Republik Czech). Beberapa negara eks komunis lainnya diperkirakan segera menyusul. Di Asia Tengah, negara eks komunis malah menjadi sekutu terdekat AS dalam “global war on terrorism” (GWOT), seperti Ukraina, Uzbekistan, dan Kyrgystan.

China memang masih komunis, tetapi bukan itu yang ditakutkan. Analisis futuristik (tahun 2020) yang dikeluarkan CIA memprediksikan China (bersama India) akan menjadi kekuatan utama masa depan (new major global player) yang mampu menandingi kekuatan AS (National Intellegence Council, Mapping the Global Future, cia.gov, Desember 2004). Bukan karena ideologi komunis Mao, melainkan karena China memiliki apa yang disebut sebagai 4 faktor penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi (Gregory F. Treverton dan Seth G Jones, Measuring National Power, rand.org). Populasi China mencapai 1,299 miliar jiwa (CIA The World Fact Book 2005, cia.gov, 10/02/2005). Produk domestik bruto China mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara China pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya (Newsweek, Februari 2005)

KEKUATAN, BALANCE OF POWER, DAN TEORI STABILITAS HEGEMONI

Devania Annesya

070810535

devania.annesya@gmail.com

Berdasarkan Oxford Learner’s Pocket Dictionary kekuatan (power) dalam konteks hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai sebuah tingkata sumber kapabilitas dan pengaruh dalam hubungan internasional. Biasanya kekuatan dibedakan menjadi dua konsep, yakni hardpower dan softpower. Salah ahli politik internasional, Ray S. Cline (1975), mampu mengemukakan metode efektif kekuasaan, yaitu:

Pp = (C+E+M) x (S+W)

Keterangan:
Pp = Power Perception; C = critical mass (populasi dan wilayah); E= Economy,
M = Military; S = Strategic (Tujuan-tujuan strategis), W = Will (keinginan untuk mencapai tujuan nasional)

Dalam perkembangan modern, istilah kekuatan negara mengindikasikan kedua kekuatan militer dan ekonomi yang yang kemudian akan menghasilkan perbedaan kapabilitas kekuatan-kekuatan negara dalam sistem internasioal. Kemudian akan muncullah negara dengan kekuatan rendah, menengah, dan tinggi (superpower). Terdapat kecenderungan bahwa superpower ini akan memegang kendali sebagai seorang hegemon. Pada era kejayaan pemikiran kaum realis, hegemon dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara-negara lainnya. Dapat dikatakan teori Balance Of Power (Keseimbangan kekuatan) muncul dengan asumsi dasar bahwa ketika sebuah negara atau aliansi negara meningkatkan atau mengunakan kekuatannya secara lebih agresif, negara-negara yang merasa terancam akan merespon dengan meningkatkan kekuatan mereka. Hal ini dikenal dengan istilah counter balancing coalition. Contoh kasus seperti munculnya kekuatan Jerman menjelang Perang Dunia I (tahun 1914-1918) yang memicu formasi koalisi anti-Jerman yang terdiri dari Uni Sovyet, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan beberapa Negara lain.

Secara teoritis, balance of power menganggap bahwa perubahan status dan kekuatan internasional khususnya upaya sebuah negara yang hendak menguasai sebuah kawasan tertentu akan dapat menstrimulir aksi counter-balancing dari satu Negara atau lebih. Dalam keadaan yang demikian, proses perseimbangan kekuatan dapat mendorong terciptanya dan terjaganya stabilitas hubungan antar negara yang beraliansi. Kita dapat menilik bagaimana Amerika Serikat dan Uni Soviet yang secara bersamaan melakukan peningkatan kapabilitas militer untuk saling bersaing memperoleh posisi terkuat di dunia saat Perang Dingin berlangsung.

Kelemahan dari konsep balance of power adalah karena ia terlalu sempit dalam menilai kekuatan sebuah negara sebagai ukuran dari sebuah proses perseimbangan kekuatan. Meski dapat dikatakan secara sederhana, seperti yang dipaparkan oleh Morgenthau, penggagas teori balance of power, bahwa kekuatan nasional diukur dari ukuran geografi wilayah, populasi penduduk yang dimiliki, serta tingkat kemajuan teknologi sebuah negara atau aliansi sebuah kekuatan. Adapun kapasistas ekonomi masih dilihat kabur oleh Morgenthau sendiri karena ekonomi diterjemahkan lebih kepada bagaimana kapabilitas militer dapat terbangun olehnya. Dan dengan runtuhnya Uni Soviet di akhir Perang Dingin, beberapa kelemahan teori yang terlalu fokus pada kapabilitas militer ini mulai dianggap irrelevant.

Secara historis, kepemimpinan hegemoni dan munculnya ekonomi dunia liberal hanya terjadi dua kali. Pertama adalah era Pax Britannica hingga berlangsung hingga perang Napoleon dan berakhir hingga pecahnya Perang Dunia I. Sejalan dengan bangkitnya negara kelas menengah, menyetujui ideologi liberalisme, Inggris Raya membangkitkan era free trade dengan cara mereduksi tarif dan membuka border pada pasar dunia (Kindleberger, 1978b, ch. 3). Hampir sama ketika AS mengambilalih aturan internasional liberal setelah Perang Dunia II melalui GATT (General Agreement Tariffs and Trade) dan IMF (International Monetary Fund).

Berdasarkan teorinya, hegemon atau pemimpin memegang tanggung jawab untuk menjamin kondisi collective goods sistem perdagangan terbuka dan kestabilan pertukaraan mata uang. Hegemon memegang beberapa peran penting bagi operasi ekonomi dunia. Ia digunakan untuk mempengaruhi pembentukan rezim internasional (Krasner, 1982a, p. 185). Hegemon juga harus mencegah adanya negara lain dengan kekuatan monopoli mengeksploitasi lainnya agar mencegah negara tersebut keluar dari free trade (H. Johnson, 1976, pp. 17, 20). Hegemon juga harus mengatur, dalam suatu tingkatan, struktur foreign-exchange rate dan menyediakan kooperasi kebijakan moneter domestik (Kindleberger, 1981, p. 247), jika tidak, pasti akan ada serangan dari nasionalisme. Meskipun terdapat beberapa keuntungan dari sistem ini, muncul beberapa kritik sebagaimana Hirschman (1945, p. 16) bahwa hegemoni dapat mengeksploitasi posisi dominannya.

Analysis

Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan dengan mengedepankan aspek menentang hegemoni dan membatasi ruang geraknya supaya tidak mendesak negara lain yang lebih lemah maupun secara signifikan-insignifikan terancam, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya. Alur yang demikian sesuai dengan pemikiran realis di mana balance of power menjadi strategi keamanan yang secara inheren efektif untuk menciptakan stabilitas keamanan yang toleran dan favor bagi negara-negara yang berkonflik.

Sementara itu dengan berakhirnya perang Dingin relevansi konsep ini menjadi dipertanyakan. Kemudian muncullah konsep stabilitas hegemoni yang mana memandang hegemon bukan sebagai makhluk monster yang kemudian akan mencaplok dunia. Teori ini memandang bahwa hadirnya suatu hegemon akan menjamin stabilitas sistem internasional dengan menyediakan pelbagai norma, nilai, dan sokongan bagi keberlangsungan sistem internasional yang tertuang dalam rezim internasional (sesuai dengan pemikran Krasner, 1982a, p. 185). Hegemon, kendati memiliki peluang untuk mengekploitasi kedudukan hegemoninya (sesuai dengan pemikiran Hirschman, 1945, p. 16), telah meresikokan dirinya pada suatu tanggung jawab dalam menjamin berlangsungnya seluruh sistem internasional.
References:

Cline, Ray S. 1975. World Power Assesment : A Calculus of Strategic Drift. Washington DC: Georgetown University. Hlm11

Frieden, Jeffry A & Lake, David A. 2000. International Political Economy: Perspectives on Global Power and Wealth. Routledge: Bedford/St. Martin’s

Gilpin, Robert. 1987. “The Dynamics of International Political Economy” dalam The Political Economy of International relations. Princeton: Princeton University Press

Laison, Thomas D. & D. Skidmore. 1993. “The Political Economy of American Hegemony: 1938-1973”, dalam International Political Economy: the struggle for Power and Wealth. Orlando: Harcourt Brace College Publisher